Istilah “jablay” mulai dikenal luas di Indonesia sekitar awal tahun 2000-an. Salah satu pemicu popularitas kata ini adalah lagu dari grup musik T2 berjudul “Jablay” yang rilis pada tahun 2007. Dalam lagu tersebut, jablay adalah akronim dari “Jarang Dibelai”, yang kemudian diasosiasikan dengan perempuan yang merasa kurang kasih sayang, dan akhirnya mencari perhatian dari orang lain.

Awalnya, istilah ini digunakan secara sarkastik untuk menggambarkan perempuan yang dinilai “nakal”, suka keluar malam, berdandan mencolok, atau aktif mencari perhatian laki-laki. jablay123 Secara tidak langsung, kata ini membawa beban stereotip dan stigma yang cukup berat terhadap perempuan. Masyarakat mengaitkannya dengan kebebasan seksual, pergaulan bebas, dan bahkan aktivitas negatif lainnya, meskipun tidak selalu demikian kenyataannya.

Evolusi Makna: Dari Penghakiman ke Pemberdayaan?

Seiring waktu, istilah “jablay” mengalami pergeseran makna dalam masyarakat. Generasi muda, terutama di kalangan urban dan pengguna media sosial, mulai menggunakan kata ini dengan nuansa yang lebih cair. Dalam banyak kasus, “jablay” menjadi lelucon atau label diri yang digunakan dengan gaya humor sarkastik. Misalnya, seseorang bisa berkata, “Aduh, aku jablay nih, udah seminggu nggak ada yang ngajak ngedate,” sebagai bentuk curhat lucu, bukan serius.

Bahkan, ada juga yang mencoba membalikkan makna kata ini menjadi bentuk pemberdayaan, semacam reclaiming word — seperti yang terjadi dalam konteks feminisme global terhadap kata-kata seperti “slut” atau “bitch.” Dalam konteks ini, perempuan tidak lagi takut dilabeli jablay, karena mereka mengklaim bahwa menjadi perempuan yang bebas berekspresi dan memilih gaya hidupnya sendiri bukanlah sesuatu yang salah.

Namun tentu saja, proses ini tidak terjadi secara merata. Di banyak tempat, kata ini masih menyimpan stigma, terutama dalam masyarakat yang lebih konservatif. Persepsi bahwa jablay adalah perempuan “tidak baik-baik” masih kuat bercokol dalam banyak pandangan.

Peran Media dan Budaya Pop

Budaya populer punya peran besar dalam menyebarkan dan membentuk makna istilah “jablay”. Lagu T2 hanyalah awal. Setelahnya, istilah ini masuk ke dalam sinetron, lawakan, stand-up comedy, hingga meme-meme di media sosial. Karakter jablay pun menjadi stereotipe yang sering muncul: perempuan seksi, genit, tapi lucu dan kadang menggemaskan.

Sayangnya, meskipun dalam format hiburan, karakter ini sering kali tetap memuat unsur pelecehan verbal dan penghakiman moral. Perempuan digambarkan sebagai objek hiburan semata, tanpa ruang untuk memahami kompleksitas latar belakang sosial dan psikologis mereka.

Namun tidak semua media ikut melanggengkan stereotip. Beberapa kreator konten mencoba menggambarkan sisi lain dari sosok yang dilabeli “jablay” — bahwa di balik dandanan mencolok dan gaya bicara bebas, ada manusia yang punya cerita, luka, dan perjuangan hidup. Ada perempuan yang memilih untuk tampil berbeda karena tekanan ekonomi, pengalaman traumatis, atau bahkan sekadar ekspresi jati diri.

Jablay dalam Perspektif Sosial dan Gender

Mengapa kata seperti “jablay” begitu mudah melekat pada perempuan, sementara laki-laki dengan gaya hidup serupa jarang dilabeli secara negatif? Ini tidak lepas dari budaya patriarki yang masih kuat dalam masyarakat kita. Perempuan cenderung lebih mudah dihakimi atas pilihan hidupnya — mulai dari cara berpakaian, cara berbicara, hingga dengan siapa mereka bergaul.

Label seperti jablay menjadi alat kontrol sosial yang digunakan untuk mengatur tubuh dan perilaku perempuan. Kata ini berfungsi sebagai “peringatan” agar perempuan tetap berada dalam koridor norma yang ditetapkan masyarakat. Jika tidak, mereka siap-siap mendapat cap yang merendahkan.

Padahal dalam kenyataannya, tidak semua perempuan yang dilabeli jablay melakukan hal-hal negatif. Banyak dari mereka yang hanya ingin bebas berekspresi, atau bahkan tidak melakukan apa pun yang menyimpang secara moral, tetapi dinilai “terlalu berani” dalam mengekspresikan diri.

Di sisi lain, ada pula realitas sosial yang tak bisa diabaikan: sebagian perempuan memang “dipaksa” menjadi seperti yang digambarkan dalam label jablay karena himpitan ekonomi. Di kota-kota besar, tak sedikit perempuan muda yang menjadi bagian dari industri hiburan malam, pekerja seks, atau model daring karena tekanan hidup dan minimnya akses terhadap pendidikan dan pekerjaan layak.

Antara Realita dan Stigma

Penting untuk memahami bahwa istilah jablay bukan sekadar kata gaul, tapi cermin dari problem sosial yang lebih dalam. Di satu sisi, ia menggambarkan stereotip terhadap perempuan yang melawan norma. Di sisi lain, ia mencerminkan kondisi sosial-ekonomi yang membuat sebagian perempuan terpinggirkan dan akhirnya memilih jalan yang dianggap “menyimpang” oleh masyarakat.

Alih-alih terus melabeli, masyarakat seharusnya lebih reflektif dan empatik. Siapa pun tidak bisa memilih untuk lahir dalam kondisi ekonomi seperti apa, atau menghadapi pengalaman hidup seperti apa. Menilai orang hanya dari tampilan luar, atau dari gaya hidup yang tidak kita pahami sepenuhnya, bisa jadi tindakan yang tidak adil.

Lebih jauh lagi, penggunaan kata jablay secara sembarangan juga bisa melanggengkan budaya misoginis. Ketika perempuan terus-menerus dihadapkan pada label negatif hanya karena pilihan gaya hidup atau cara berpenampilan, ruang bagi mereka untuk berkembang secara sehat akan semakin sempit.

Membangun Narasi Baru

Perubahan cara pandang terhadap istilah seperti jablay harus dimulai dari kesadaran kolektif. Edukasi gender, empati sosial, dan literasi media sangat penting untuk membantu masyarakat memahami konteks di balik label-label sosial. Anak muda bisa menjadi motor penggerak perubahan ini dengan lebih kritis dalam menggunakan istilah, menolak stereotip, dan mendukung sesama tanpa menghakimi.

Media dan kreator konten juga memiliki peran strategis. Dengan menciptakan representasi yang lebih manusiawi dan berimbang, mereka dapat membantu meretas stigma yang selama ini menempel kuat. Kisah tentang perempuan yang dianggap jablay, namun ternyata adalah sosok yang penuh kasih sayang, pekerja keras, dan punya mimpi besar, bisa membuka mata banyak orang.

Akhirnya, kita semua harus sadar bahwa setiap kata yang kita ucapkan punya kekuatan: membentuk opini, menyakiti, atau memberdayakan. Jika kita ingin hidup dalam masyarakat yang lebih adil, inklusif, dan saling menghargai, maka kita harus mulai dari hal kecil — termasuk cara kita berbicara dan melabeli orang lain.

Penutup: Dari Canda Menjadi Renungan

Istilah jablay mungkin sering terdengar lucu di telinga, apalagi dalam konteks candaan sehari-hari. Tapi di balik tawa, ada realitas yang tak boleh diabaikan. Kata ini mencerminkan bagaimana kita memandang perempuan, norma, dan keberagaman gaya hidup dalam masyarakat.

Sudah saatnya kita berhenti menjadikan kata-kata seperti jablay sebagai bahan tertawaan semata. Mungkin sekarang waktunya menjadikan istilah ini sebagai bahan renungan: apakah kita sedang tertawa bersama, atau justru sedang menertawakan dan menghakimi seseorang yang tak kita pahami sepenuhnya?

Perubahan dimulai dari kesadaran. Dan mungkin, dari sebuah kata yang dulu hanya dianggap lelucon, kita bisa mulai membangun percakapan yang lebih bermakna tentang perempuan, kebebasan, dan kemanusiaan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *